BimbelPrimago.id | Banda Aceh—Munawar Liza Zainal pulang ke Aceh setelah ditandatangani perjanjian damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Pria kelahiran 22 Desember 1973 dipilih oleh rakyat menjadi Wali Kota Sabang periode 2007-2012, berpasangan dengan Islamuddin.
Munawar Liza Zainal ikonik. Demikian pengakuan beberapa orang yang pernah bertemu dan bergaul dengannya. Ia termasuk salah satu anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang idealis. Meski mengorbankan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, demi mendukung perjuangan kemerdekaan Aceh, ia tidak jemawa. Tak merasa menjadi orang paling berjasa dalam perjuangan besar yang didukung oleh mayoritas rakyat Aceh kala itu.
Keterlibatan Munawar Liza Zainal dalam GAM diketahui secara luas oleh publik saat terlibat sebagai salah seorang tim Juru Runding GAM di Helsinki, Finlandia. Setelah perjanjian damai disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Munawar Liza Zainal ditunjuk sebagai salah seorang perwakilan GAM di dalam Aceh Monitoring Mission (AMM)—sebuah lembaga yang dibentuk sebagai pelaksana monitoring implementasi butir-butir MoU Helsinki. AMM merupakan misi Uni Eropa yang dipimpin oleh Pieter Feith, dan bertugas sejak 15 September 2005 hingga 15 Desember 2006.
Pulang ke Aceh hanya dengan membawa satu unit laptop merek HP dan beberapa lembar pakaian, Munawar Liza Zainal kemudian terjun ke lapangan. Memonitor proses transisi setelah konflik, sekaligus sosialisasi MoU Helsinki.
Dalam perjalanannya selama di Aceh, Munawar Liza Zainal dan kawan-kawan berhasil melobi sebuah lembaga di Swedia membuat program pelatihan politik di Aceh untuk kombatan dan korban konflik. Mereka menyewa sebuah rumah untuk kantor sekaligus tempat tinggal, menyewa sebuah mobil dan membeli sebuah motor, peralatan kantor sebuah laptop dan PC, dan mendapatkan gaji bulanan alakadarnya.
“Gaji tersebut tidak bisa ditabung, karena hanya cukup untuk makan sehari-hari, apalagi banyak perjalanan mengelilingi Aceh mengunjungi kombatan dan korban konflik. Sebagian dari gaji kami sisihkan untuk rekan yang lain,” kenang pria yang jago berbahasa Inggris dan Arab tersebut, Minggu (19/3/2023).
Munawar Liza Zainal Diminta Menjadi Wali Kota Sabang
Di ujung tahun 2006, Munawar Liza Zainal didatangi serombongan mantan kombatan, ulama, dan tokoh-tokoh dari Sabang. Ia diminta untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Sabang. Setelah menolak berkali-kali, akhirnya pria kelahiran Laweung, Pidie, menyatakan bersedia.
Untuk proses pencalonan, perlu melaporkan harta kekayaan kepada KPK RI. Munawar Liza Zainal sempat bingung untuk pertama sekali, apa yang mesti dilaporkan. Akhirnya ia melaporkan harta yang ada, berupa dua unit laptop, dan satu sepeda motor (dibeli lembaga atas namanya).
“Saya pulang ke kampung, berkomunikasi dengan keluarga. Ada dua bidang sawah peninggalan almarhum ayah, satu kedai kayu tempat kami tinggal sekeluarga, dan tiga bidang tanah warisan kakek yang menjadi hak mamak. Karena peninggalan orang tua, belum bersertifikat waktu itu, saya meminta izin mamak, abang dan adek, untuk saya buatkan surat sporadik dari keuchiek, lengkap dengan taksiran harga dan ukurannya,” kenangnya.
Akhirnya laptop, sepeda motor, dan dua petak sawah dan tiga persil tanah, ia masukkan ke dalam daftar kekayaan. Jadinya beberapa ratus juta. Tepatnya, Rp441.000.000.
Kemudian setelah terpilih, Munawar Liza Zainal dipanggil ke kantor KPK RI di Kuningan, untuk klarifikasi harta tersebut dan membuat daftar baru. “Laptop dan sepeda motor, itu memang milik saya, tanah-tanah peninggalan orang tua, hanya masuk satu saja, yang benar-benar diwariskan kepada saya, yaitu tanah kedai.”
Selama menjadi Wali Kota Sabang,harta dunia tidak bertambah. Tidak memiliki tanah walau semeter di Sabang. Padahal saat itu, pengadaan tanah sedang marak-maraknya.
Setelah selesai menjabat, pria tambun penggemar mi kepiting tersebut, melaporkan kembali harta kekayaan, dengan tambahan beberapa manyam emas, perhiasan istri yang ia beli, dan hadiah keluarga saat anak pertama dan kedua lahir di sana. Kekayaan malah berkurang karena sepeda motor sudah dihadiahkan kepada kawan seperjuangan.
Selama menjabat, beberapa kali dirawat dan mengeluarkan biaya cukup besar. Dengan tidak membebani daerah, di APBK, Wali Kota Sabang diasuransikan ke sebuah perusahaan asuransi dengan premi Rp25 juta setahun. Setiap sakit, asuransi menanggung setengah dari semua biaya perawatan, setengah lagi dengan biaya sendiri. Dari sisa gaji dan pemberian orang yang menjenguk dan bantuan kawan-kawannya.
Selama bertugas, setiap tahun ada dana taktis dari APBK sekitar Rp150 juta. Itu bukan untuk pendapatan, tetapi dibagi olehnya dan Wakil Wali Kota Sabang Islamuddin, kemudian membantu masyarakat yang datang memerlukan bantuan.
“Setiap bantuan, kami minta photocopy KTP dan menandatangani kwitansi sehingga dalam pemeriksaan bisa kami pertanggung jawabkan. Sebagian uang itu kami gunakan untuk dibagikan kepada anak kecil yang datang berhari raya ke meuligoe Wali Kota,” kenangnya.
Belum Punya Rumah
Di era yang serba mengangungkan gaya hidup hedonis, tanpa peduli halal dan haramnya sumber kekayaan, Munawar Liza tampil beda. Setelah menghabiskan masa tugasnya di Sabang, Munawar Liza hanya memiliki uang Rp13 juta. Berasal dari gaji pokok sekitar Rp3,7 juta, dengan tunjangan lainnya menjadi sekitar Rp7,5 juta. “Beberapa honor kecil, itu biasa kami bagikan kepada ADC, pengemudi dan yang menjaga meuligoe.”
Beberapa bulan kemudian mengurus pensiun pejabat negara dari Taspen, mendapat tambahan beberapa juta, rapel dari bulan Maret waktu ia mulai pensiun. Gaji pensiun, 50% dari gaji pokok. Sekira Rp1,7 juta sebelum dipotong pajak dan BPJS.
Setelah berkemas di Sabang, ia kembali ke Banda Aceh. Menumpang tinggal kembali di rumah mertua. Setelah beberapa bulan, beberapa kawannya di Sabang meuripee/patungan untuk menyewa sebuah rumah untuk setahun di Ulee Kareng, Banda Aceh. Di rumah sewa ia dan sekeluarga sempat tinggal selama setahun, dan kemudian kembali menumpang di rumah mertua. Rumah sewa itu tak sanggup ia perpanjang kontraknya karena yang punya rumah menaikkan harga sewa.
Munawar sempat merantau ke beberapa tempat, mencari pendapatan demi melanjutkan tugasnya sebagai seorang ayah dan suami. Hasilnya, selain cukup membiayai kebutuhan rumah tangga, ia juga dapat menyisihkan uang membangun pondasi rumah di samping rumah mertua. Tapi hingga ia pulang lagi ke Aceh, pondasi itu belum dapat dibangun lebih lanjut.
Sejak 2018, ia diberi amanah untuk menjadi pengawas di sebuah lembaga. Gajinya alhamdulillah cukup untuk SPP dan jajan anak-anaknya, bayar listrik dengan telephone. Tetap belum cukup untuk ditabung atau disimpan.
“Ada yang menggosipkan, bahwa saya punya harta yang banyak dan disimpan di luar Aceh bahkan apartemen di luar negeri. Haha. Kepada yang sampaikan, saya pesan, kalau ada yang tahu di mana ada harta saya, dengan ikhlas akan saya hibahkan kepada orang itu,” katanya.
Pada suatu kesempatan, Munawar Liza Zainal pernah mengatakan, ia kesal melihat orang-orang yang begitu ada jabatan, maka secepat mungkin mengumpulkan pundi rupiah. Tak peduli halal dan haram.
Munawar sangat mencintai Aceh. Kiranya ia merasa belum cukup memberikan yang terbaik kepada negeri yang sangat ia cintai. “Masa muda saya hibahkan demi Aceh, studi di Al-Azhar saya korbankan demi Aceh. Padahal menjadi sarjana di Al-Azhar University merupakan mimpi saya, almarhum ayah, dan mimpi ibu. Saya korbankan itu semua. Saya gagal menjadi sarjana di sana. Tapi saya tak boleh gagal menjadi anak yang berbakti kepada keduanya.”
(Sumber Dari tulisan Muhajir Juli di komparatif.id)