Gontor dan Tuduhan Aliran: Antara Pemahaman dan Kesalahpahaman

Belakangan ini muncul tuduhan dari seorang ustadz yang menyebut Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai pesantren yang “beraliran Wahabi”, Tuduhan ini sangat viral di sosial media. Alasan yang digunakan pun cukup sederhana: karena di Gontor ada pelajaran Ilmu Tauhid yang merujuk kepada salah satu ulama dari kalangan yang dikenal sebagai “Wahabi,” yaitu Syaikh Shalih Fauzan.

Tuduhan seperti ini ramai diperbincangkan dan memunculkan reaksi beragam, terutama dari alumni, pemerhati pendidikan Islam hingga masyarakat awam.

Namun, sebelum terburu-buru menilai, sebaiknya kita pahami dulu secara jernih: apa sebenarnya konteks pengajaran tersebut, bagaimana sistem pendidikan Gontor, dan apa tujuan utama dari pelajaran tauhid yang diajarkan di sana. Sebab, menilai lembaga sebesar Gontor hanya dari satu referensi kitab adalah seperti menilai lautan dari segelas airnya atau menilai hutan dari sebatang pohon (apalagi pohonya pohon toge).


1. Gontor: Lembaga Ilmu, Bukan Lembaga Mazhab ataupun Aliran Keagamaan

Pondok Modern Darussalam Gontor yang kini memasuki usia 1 abad dikenal sebagai pesantren yang memiliki tradisi keilmuan luas dan terbuka.

Dalam sistem pendidikannya, Gontor mengajarkan berbagai disiplin ilmu, termasuk Al-Adyan — pelajaran yang mempelajari agama-agama di dunia seperti Buddha, Hindu, Zoroaster (Majusi), Yahudi, Nasrani hingga Taoisme dan Konfusiusme.

Apakah karena pelajaran itu para santrinya lalu menjadi penganut agama tersebut? Tentu tidak.

Begitu pula dengan pelajaran Tauhid yang di dalamnya mencantumkan referensi dari berbagai ulama, termasuk Syaikh Shalih Fauzan. Hal itu bukan bentuk doktrinasi, melainkan bagian dari pengayaan keilmuan agar santri mengenal berbagai pandangan teologis dalam sejarah Islam.

Gontor tidak pernah mengajarkan “harus ikut aliran tertentu,” melainkan mengajarkan ilmu tentang berbagai aliran. Ada perbedaan besar antara mempelajari dan menganut.

Dalam dunia akademik dan pesantren, memperluas wawasan adalah bagian dari tradisi keilmuan Islam yang sudah ada sejak zaman para ulama klasik.

Baca Juga :

  1. Pondok Pesantren untuk Anak SD di Sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi

  2. Elang Bintang, Alumni SDI Primago Raih Penghargaan Aktor Terbaik Dalam Festival Film Santri Nasional 2025
  3. Muhammad Alkhalifi DzikriSantri Pesantren Primago Raih Prestasi Dalam Perlombaan Robotik Nasional
  4. Safira Azzahra dan Hilwa Annajma Neelnamuna, Santriwati Pesantren Leadership Primago Bikin Takjub Ribuan Peserta Bukber Akbar PAY
  5. Santri Pesantren Leadership Primago Borong Juara Tahfidz Qur’an
  6. Santri Pesantren Leadership Primago Ukir Prestasi Dengan Borong 19 Medali di UIKA Championship Pencak Silat Tingkat Nasional
  7. Pramuka Primago Berhasil Meraih 4 Prestasi Dalam Ajang Gema Tunas PKBM Jawa Barat 2024
  8. Ali El-Muntazar Rabbani Bin Priyanto, Mengukir Banyak Prestasi di Primago Hingga Gontor
  9. Zahir Muhammad El Razaq, Alumni SDI PRIMAGO Sabet Juara Umum dengan Karya Inovatif Dalam Ajang Gontor Science Olympiad

Pesantren di Depok Yang Bagus Dan Murah
Pesantren Leadership Primago, Miniatur Gontor di Jabodetabek

2. Kurikulum yang Membuka Wawasan, Bukan Mengikat Pemikiran

Jika kita menelaah kurikulumnya, Gontor memiliki keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum. Para santri diajarkan Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fiqh, Ushul Fiqh, Tauhid, Tarikh, dan Tafsir, sekaligus Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Sains, Matematika, dan Kewarganegaraan.

Semuanya diramu agar santri tidak hanya memahami teks agama, tetapi juga realitas sosial di sekitarnya.

Dalam pelajaran Tauhid, para santri diperkenalkan pada berbagai corak pemikiran: Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah, bahkan pandangan modern dari tokoh-tokoh kontemporer. Semua dipelajari dalam konteks akademik, bukan dogmatis.

Tujuannya jelas: agar santri memahami spektrum luas pemikiran Islam, lalu mampu bersikap bijak dan moderat di tengah perbedaan.

Itulah mengapa alumni Gontor banyak yang berkiprah di berbagai organisasi Islam dan lini kehidupan dengan latar belakang berbeda-beda.

Sebut saja KH. Idham Chalid dan KH. Hasyim Muzadi (dua-duanya pernah menjadi Ketua Umum PBNU), KH. Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah), Prof. Dr. Nurcholish Madjid (cendekiawan muslim, bapak pluralis Islam), Emha Ainun Najib (budayawan), Dr. Hidayat Nurwahid (mantan Ketua MPR RI) hingga Nur Juli Zar (Sociopreneur).

Apakah mereka semua berasal dari satu aliran teologis yang sama ? Tidak.

Tapi mereka semua lahir dari rahim Gontor. Ada ratusan ribu alumni Gontor selain mereka yang tersebar dan menyebar, bergerak dan menggerakkan dalam corak yang jauh beragam juga.

Artinya, sistem pendidikan Gontor justru melahirkan insan yang bebas berpikir, terbuka terhadap perbedaan, dan mampu menghargai keragaman. Sebagaimana yang berbunyi dalam salah satu motto utama Gontor untuk para santrinya “Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas”.

Setelah para santri menyelami samudera ilmu di Gontor, Gontor membebaskan para alumninya untuk bergerak dan berkiprah diberbagai lautan kehidupan dengan prinsip mereka masing-masing.

Yang terpenting bagi Gontor, para alumni tersebut bisa menjadi perekat umat dan jadi pribadi bermanfaat.


3. Islam Mendorong Ilmu, Bukan Fanatisme

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah kewajiban yang tinggi nilainya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Tirmidzi, No. 2646)

Dan dalam hadits lain disebutkan:

“Barang siapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali.”
(HR. Tirmidzi, No. 2647)

Artinya, seorang Muslim diperintahkan untuk terus menuntut ilmu — termasuk mempelajari berbagai pandangan — selama tujuannya untuk memahami dan memperkuat keimanan.
Allah juga berfirman:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)

Ayat dan hadits ini menegaskan bahwa Islam tidak membatasi ilmu hanya pada satu sudut pandang. Bahkan, perbedaan pandangan di kalangan ulama adalah rahmat. Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah pun sering berbeda dalam ijtihad, tetapi tetap saling menghormati.

Jika Rasulullah dan para sahabat saja menghargai perbedaan, lalu mengapa kita justru mudah menuduh lembaga lain sesat hanya karena mereka mempelajari satu referensi dari ulama yang berbeda?


4. Tuduhan “Wahabi”: Antara Label dan Fakta

Istilah “Wahabi” sering disalahgunakan sebagai label untuk menuduh seseorang keras atau kaku. Padahal, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh yang dianggap pendiri gerakan tersebut, pada dasarnya mengajak umat kembali kepada tauhid murni — bukan untuk membenci tradisi.
Masalahnya, banyak orang menilai hanya dari stigma, bukan dari substansi.

Sekarang, mari kita lihat realitas Gontor :

  1. Apakah Gontor melarang seni dan budaya? Tidak. Justru setiap tahun Gontor menggelar Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy dengan pentas seni, musik, dan pidato multibahasa. Para santri di dorong dan di fasilitasi dalam explorasi potensi diri diberbagai lini, termasuk dalam seni dan budaya
  2. Apakah Gontor melarang santrinya yasinan, ziarah kubur, atau doa berjamaah dengan suara keras? Tidak juga. Semua itu masih berjalan dengan tertib, karena Gontor memahami bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan nilai-nilai tauhid.
  3. Bahkan, Gontor membolehkan sholat subuh dengan qunut, azan Jumat dua kali, dan berdoa bersama setelah sholat — hal-hal yang justru tidak dikenal dalam praktik Wahabi.

Maka, tuduhan bahwa Gontor adalah pesantren Wahabi jelas tidak sejalan dengan fakta di lapangan.

Video : Pentas Seni Wayang Santri Akhir Gontor

 


5. Dalil Tentang Toleransi dan Kehati-hatian dalam Menilai

Allah telah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu mencela apa yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan mencela Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
(QS. Al-An’am: 108)

Ayat ini mengajarkan adab dalam berdialog dan berpendapat: jangan mencela tanpa ilmu. Karena jika celaan disampaikan tanpa pemahaman, justru bisa menimbulkan fitnah yang lebih besar. Mencela orang yang menyembah selain Allah Swt aja dilarang, Apalagi mencela lembaga pendidikan yang sudah terbukti kebermanfaatannya dalam memperjuangkan agama Allah Swt ini ?

Allah juga berfirman:

“Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
(QS. Al-Baqarah: 256)

Artinya, Islam mengajarkan kebebasan berpikir dalam koridor iman. Pendidikan yang memperkenalkan berbagai pandangan tidak otomatis berarti paksaan untuk mengikuti pandangan itu. Dan ini berlaku dalam konsep pendidikan Gontor, dimana para santri dan alumni diberi kebebasan memilih jalan hidup masing-masing sesuai keinginan dan pemahaman mereka. Yang terpenting adalah bertanggungjawab terhadap pilihan hidup tersebut.

Dan dalam ayat lain:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu…”
(QS. Al-Hujurat: 10)

Menuduh lembaga Islam seperti Pondok Moderh Gontor tanpa dasar justru merusak ukhuwah. Jika sesama lembaga/aktivis dakwah saling menuduh, maka siapa lagi yang akan menjaga keutuhan umat?


6. Peran Gontor: Melahirkan Perekat Umat

Jika kita lihat kiprah para alumninya, Gontor bukan hanya mencetak santri yang pintar bicara, tetapi juga pemimpin yang mampu mempersatukan umat.
Para alumninya aktif di NU, Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah, dan berbagai lembaga dakwah. Mereka tidak dibentuk untuk menjadi pengikut mazhab tertentu, tapi untuk menjadi perekat perbedaan.

Falsafah pendidikan Gontor, “Berdiri di atas dan untuk semua golongan,” menjelaskan segalanya. Artinya, Gontor berdiri di atas semua mazhab, bukan menentang siapa pun. Dari rahim Gontor lahir tokoh-tokoh besar bangsa yang menjadi penyejuk di tengah perbedaan.
Itulah bukti nyata bahwa pendidikan Gontor berorientasi pada ukhuwah, bukan sektarianisme.


7. Menuduh Tanpa Ilmu Adalah Bahaya Besar

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.”
(HR. Muslim)

Artinya, menyebarkan tuduhan tanpa verifikasi adalah dosa besar. Maka, ketika ada ustadz yang menuduh pesantren sebesar Gontor mengikuti aliran tertentu tanpa pernah belajar langsung di sana, seharusnya kita berhati-hati.
Sebab, fitnah terhadap lembaga dakwah bukan hanya mencemarkan nama baik, tapi juga mengadu domba umat Islam.


8. Penutup: Mari Kembali ke Semangat Ilmu dan Ukhuwah

Dari semua penjelasan di atas, bisa disimpulkan beberapa hal penting:

  1. Mengajarkan referensi dari ulama tertentu tidak berarti menganut aliran tersebut. Itu bagian dari memperkaya ilmu, bukan membatasi pandangan.

  2. Kurikulum Gontor terbukti luas dan inklusif. Adanya pelajaran Al-Adyan menunjukkan semangat memahami dunia, bukan menutup diri.

  3. Praktik kehidupan santri di Gontor sangat jauh dari ciri-ciri Wahabi yang fanatik dan kaku.

  4. Fakta alumni yang beragam membuktikan Gontor melahirkan perekat umat, bukan pengkotak-petak.

  5. Islam melarang tuduhan tanpa ilmu dan mendorong sikap ilmiah dalam menilai perbedaan.

Maka, ketika ada yang menuduh Gontor menganut aliran tertentu hanya karena satu referensi kitab, bisa dipastikan tuduhan itu asbun — asal bunyi — dan tidak memahami hakikat pendidikan Islam di Gontor.

Mari kita belajar menilai dengan ilmu, bukan prasangka. Karena Islam itu luas, dan ilmu itu cahaya.
Gontor bukan sekolah aliran. Gontor adalah madrasah ilmu, tempat menyalakan cahaya berpikir di tengah zaman yang mudah gelap oleh prasangka. [Oleh : Nur Juli Zar | alumni Gontor 699]



“Kalau di Gontor diajarkan ilmu tauhid dari berbagai sumber, itu bukan doktrinasi, tapi bagian dari memperluas wawasan. Karena Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan, alumninya jadi perekat umat. Jadi, menuduh tanpa tahu itu bukan dakwah, tapi fitnah.”

Pondok Pesantren Modern yang Boleh Bawa HP di Depok Jawa Barat (7)

By Primago

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *